Kamis, 01 Desember 2011

Eksekutif dan Legislatif Orde Lama, Baru, dan Reformasi


Nama    : MUHAMMAD DJUNED HASANI.N
NIM       : E 131 10 253
Jurusan                : Ilmu Hubungan Internasional

DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif, sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya. Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik kepentingan antar partai yang ada.
·      Lembaga Legislatif & Eksekutif Orde Lama
Semangat perjuangan masih mewarnai penyelenggaraan pemerintahan kita. Para pelakunya masih kuat iman untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsa. Bahkan tidak jarang diperlihatkan oleh kekuatan mayoritas menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai kepentingan
minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa dan negara proklamasi. Sebagai contoh, penyimpangan pertama dari Bung Karno terhadap UUD 1945 ialah diterimanya usulan Sjahrir untuk tidak menggunakan kabinet presidensial dan diganti dengan kabinet parlementer. Sjahrir sendiri saat itu merupakan tokoh vokal dan amat disegani. Demi persatuan dan kesatuan, maka Bung Karno menerima usulan itu. Selain itu Bung Kamo juga menyadari bahwa KNIP belum mencerminkan kekuatan politik riil yang anggotanya (tidak dipilih akan tetapi ditunjuk) tidak mewakili kekuatan sosial politik nyata saat itu.
Semangat primordial, walaupun ada, untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial yang mengancam negara proklamasi adalah PKI yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan merupakan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa.
Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintah ini.
Gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun ini UUD Sementara 1950 diperlakukan. Dalam UUD ini dianut sistem demokrasi parlementer, bahwa Pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, kita menganut sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode ini terselenggara Pemilihan Umum pertama yang dikenal sangat demokratis. Ketika itu semua partai politik yang memenangkan suara berkeinginan untuk menguasai beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang terjadi kabinet pemerintah dibubarkan hanya karena pembagian kementerian yang tidak sesuai dengan tuntutan partai-partai politik.
Mosi tidak percaya merupakan awal dari runtuhnya kabinet yang memimpin lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah kepemimpinan partai politik yang anggotanya mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat. Sebaliknya lembaga pemerintah dapat dikatakan lemah posisinya. Sementara itu aparat pemerintah yang diharapkan netral juga sudah pandai bermain mata dengan kekuatan- kekuatan politik yang ada. Pada periode ini di sana-sini militer sudah mulai ikut memainkan peran dalam percaturan politik. Partisipasi politik militer mulai nampak ketika tentara menolak perjanjian KMB yang merupakan hasil perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan oleh politisi sipil melalui jalan diplomasi. Peran tentara ini kelak akan diwujudkan dalam konsep dwifungsi yang menekankan bahwa militer tidak hanya berperan di bidang keamanan dan pertahanan saja, melainkan juga di bidang sosial dan politik.
Ø  Demokrasi Parlementer 
Kedudukan lembaga eksekutif sangat dipengaruhi oleh lembaga legislatif. Hal ini terjadi karena lembaga eksekutif bertanggung jawab kepada lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga legislatif memiliki kedudukan yang kuat dalam mengontrol dan mengawasi fungsi dan peranan lembaga eksekutif. Dalam pertanggungjawaban yang diberikan lembaga eksekutif maka para anggota parlemen dapat mengajukan mositidak percaya kepada eksekutif jika tidak melaksanakan kebijakan dengan baik. Apabila mosi tidak percaya diterima parlemen maka lembaga eksekutif harus menyerahkan mandat kepada Presiden. 
Ø  Demokrasi Terpimpin
Peranan lembaga eksekutif jauh lebih kuat bila dibandingkandengan peranannya di masa sebelumnya. Peranan dominan lembagaeksekutif tersentralisasi di tangan Presiden Soekarno. Lembaga eksekutif mendominasi sistem politik, dalam arti mendominasi lembaga-lembagatinggi negara lainnya maupun melakukan pembatasan atas kehidupan politik. Eksekutif bisa membuat undang-undang dan seolah-olah semua terpusat pada lembaga ini. Dalam eksekutif terjadi kesenjangan dimana antara presiden dan jajarannya yang seharusnya memiliki kedudukan yang sejajar, tetapi seolah presiden yang paling memegang kendali. contohnya: pengangkatan presiden seumur hidup.Eksekutif juga mengontrol lembaga peradilan, yang dibuktikan dengan peraturan yang intinya berbunyi bahwa ketika hakim sudah tidak mampu lagi untuk memutuskan suatu perkara maka kewenangan itu diambil alih oleh presiden. 
·      Lembaga Legislatif & Eksekutif Orde Baru
Hubungan dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur. Dimana kedudukan dua lembaga ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena kedua lembaga ini adalah merupakan lembaga tinggi negara (Tap MPR No.III/MPR/1978). Namun dalam praktik ketatanegaraan dan proses jalannya pemerintahan pada masa rezim Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan terhadap semua aspek kehidupan berkepemerintahan dalam negara kita, terhadap kekuasaan legislatif maupun terhadap kekuasaan judikatif.
Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan yang terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh sebab itu, tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945 menganut supremasi eksekutif. Dominasi/supremasi kekuasaan eksekutif mendapat legitimasi konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang (pasal 5 ayat 1). Demikian juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang sangat besar, yaitu kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian internasional dan mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan pasal 13). Sama halnya dalam bidang hukum (kekuasaan di bidang justisial) yang kemudian diwujudkan dalam pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi (pasal 14). Dominasi kekuasaan eksekutif semakin mendapat ruang geraknya ketika penguasa melakukan monopoli penafsiran terhadap pasal 7. Penafsiran ini menimbulkan implikasi yang sangat luas karena menyebabkan Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas. Begitu besarnya kekuasaan Presiden pada masa orde baru.
Presiden juga memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969 jo UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan logika demokrasi. Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang lebih sebagai alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif) menjadi tidak efektif.
·      Lembaga Legislatif & Eksekutif Orde Reformasi
Di masa Reformasi yang dimulai dari tumbangnya rezim authoritarian yang dipimpin oleh Soeharto, kedudukan lembaga eksekutif setara dengan lembaga pemerintahan yang lain, yaitu lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Dalam perkembangannya, lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden tidak menjadi lembaga paling kuat dalam pemerintahan, karena lembaga eksekutif diawasi oleh lembaga legislatif, masyarakat (terutamamahasiswa, ormas, LSM, dan media massa) dalam menjalankan pemerintahan, serta akan ditindaklanjuti oleh lembaga yudikatif jika terjadi pelanggaran, sesuai dengan Undang-Undang. Justru pada masa Reformasi hingga detik ini, lembaga eksekutif selalu bertindak hati-hati dalam menjalankan pemerintahan, jika tidak hati-hati dalam mengambil dan melaksanakan kebijakan, maka lembaga eksekutif akan mendapatkan tekanandari segala kalangan, baik itu dari lembaga pemerintahan lain maupun kelompok-kelompok kepentingan (NGO), dan terutama dari mahasiswa yang semakin menyadari perannya sebagai agent of control. Rekruitmen anggota lembaga eksekutif ditetapkan berdasarkan hasil pemilu, perjanjian dengan partai koalisi maupun dengan ditunjuk oleh Presiden

1 komentar:

  1. terima kasih sangat membantu postingan nya.ini yang saya cari.
    tapi kenapa yudikatif nya gak ada ??

    BalasHapus